Minggu, 15 September 2013

REPORTASE

Nomor 2, 1 Mei 2013

Mengapa Kita ke Gereja? / Holy
Mengikuti misa kudus setiap hari Minggu menjadi perintah kedua dari Lima Perintah Gereja yang bunyinya: Ikutilah perayaan Ekaristi pada hari Minggu dan hari raya yang diwajibkan. Sadar atau tidak akan perintah tersebut hampir setiap keluarga Katolik pergi ke gereja pada hari Minggu, bahkan kehadiran bersama keluarga menjadi sebuah priori­tas. Ada semacam kepuasan tersendiri dapat membawa anak-anak mengikuti perjamuan Ekaristi Kudus. Namun apakah keutamaan itu masih tetap dimiliki oleh semua orang zaman modern ini? Apakah mengikuti misa kudus dirasakan sebagai rahmat yang mem­beri kesegaran bagi rohani?
Reporter Media Kunci, Holy, mewawancarai tiga orang yang boleh dikata mewakili tiga generasi, yaitu generasi kakek, generasi ortu, dan generasi muda. Pertanyaan yang diajukan adalah, Apa yang dimaksud Hidup Menggereja apa pula Gereja, Mengapa kita perlu ke Gereja dan hidup menggereja, Kapan mengi­kuti misa di Gereja, Dimana Anda biasa ke Gereja, dan Bagaimana perasaan Anda sesudah ke Gereja? Berikut ini hasilnya.

Menurut Pak Rick Sunarto, hidup menggere­ja adalah upaya memuliakan Allah dan hidup bersama dengan umat seiman. Gereja, menurut sesepuh warga Lingkungan Ketileng-2 ini adalah kumpulan Umat Allah yg percaya Yesus. Orang pergi ke Gereja dan hidup menggereja karena kerinduan bertemu Allah untuk memuliakan NamaNya. Orang datang ke Gereja karena ingin melepaskan kerinduan akan Yesus Kristus. Apakah keinginan tersebut selalu terpenuhi? Secara jujur Pak Rick mengakui pada saat misa terkadang tidak konsen. Walau begitu dengan mendengarkan Sabda Tuhan dan menerima Tu­buh Kristus beliau merasakan seakan mendapat bekal untuk menjalankan hidup sehari-hari.
Seperti yang dirasakan oleh Pak Rick, Bu Ret­no Handayani, warga Lingkungan Graha Sam­ba (Sambiroto Baru) mengatakan, Gereja adalah Suatu komunitas yang terdiri dari orang-orang yang ingin memuliakan Nama Yesus. Pergi ke Ge­reja setiap Minggu merupakan suatu kebutuhan. Ke Gereja dan hidup menggereja itu adalah ke­butuhan karena manusia lahir untuk memuliakan Nama Tuhan.
Bu Retno, panggilan akrabnya, selalu datang ke Gereja bersama keluarga setiap hari Minggu pagi, seperti Perintah Tuhan yaitu” Muliakanlah hari Sabat”. Hanya saja tidak selalu ke Gereja Santo Petrus Sambiroto. Terkadang ke Gereja Santo Paulus, Mater Dei atau Atmodirono. Perasaan sesudah mengikuti misa kudus hati lebih ten­tram, penuh sukacita bersama keluarga karena merasakan berkat Tuhan.
Herman Yosef, OMK dari Lingkungan Ketileng 2 mengatakan bahwa hidup meng­gereja itu bukan semata-mata datang ke Gereja setiap hari Minggu melainkan bagaimana kita bisa hidup untuk mengimani Yesus dalam hi-dup sehari-hari, salah satunya mengikuti acara yang non liturgi dengan cara berbuat baik dan mengasihi se- sama. Gereja menurut dia adalah sarana untuk berdoa dan berkomunikasi dengan Tuhan. Kebutuhan untuk ke Gereja dan hidup menggereja itu sebagai wujud rasa syukur, bukan kewajiban. Herman datang ke Gereja seminggu sekali kadang hari Sabtu kadang Minggu, kadang pergi sendiri kadang dengan pacar- nya. Dia tidak selalu datang ke Gereja Santo Petrus Sambiroto. Kadang ke Gereja Santo yusup Gedangan. Perasaan yang dialami oleh Herman setelah ikut misa adalah mendapat penyegaran iman. ** 

BUKAN KARENA KITA MAMPU TETAPI KARENA MAU
Pelatihan dan sosialisasi Pendam-pingan Keluarga diselenggarakan di Gereja St.Petrus Sambiroto pada Minggu 21/4/2013. Kegiatan yang mengusung tema “Makna dan Pe-ngelolaan Tim Pendampingan Kelu­arga Paroki (TPKP)” diikuti oleh 37 peserta pasutri mewakili beberapa lingkungan.
Dalam Pembukaan, Romo FX. Agus Suryana Gunadi Pr menyampaikan bahwa tim yang hadir ini bukan untuk keluarga bermasalah, me­lainkan menempatkan diri sebagai teman pendamping dalam peziarah­an. Memang diakui ataupun tidak bahwa setiap keluarga mempunyai masalah, bahkan menjadi imampun juga mempunyai masalah. Oleh sebab itu tim ini hadir karena terpanggil untuk menja­di teman dan pasangan, untuk saling membuka hati dan menjadi sahabat bagi keluarga-keluarga Katolik di lingkungan masing-masing.
Romo Agus menegaskan bahwa yang hadir dalam kegiatan ini adalah orang-orang yang tergerak, terpilih dan terpanggil, bukan karena mampu, tetapi karena mau. Ke depan tim ini ya­kin dapat berkembang dan berbuah serta men­jadi bagian dari pewarta kasih seperti Keluarga Kudus di Nazareth.
Materi dasar Pelatihan dan sosialisasi Pendam-pingan Keluarga tersebut meliputi: Prinsip-prin­sip Dasar Tim Pendampingan Keluarga Paroki, Ruang Lingkup dan Metode, serta Fokus Perha­tian.
Tujuan sosialisasi TPKP untuk mewujudkan ter­capainya kesejahteraan keluarga yang meliputi fisik, mental, sosial, moral dan spiritual dalam pengertian yang luas, yang ditandai dengan penuh syukur setiap saat. Juga berkembangn­ya iman, pemahaman panggilan, pengalaman iman, pewartaan, kesaksian dan persaudaraan.
Umat beriman dalam pernikahan Katolik se­harusnya menjadi penyelenggara ilahi, penuh rahmat dan berkat dalam perjalanan keluarga. Dan Tim Pendampingan Keluarga Paroki men­jadi bagian dari peran awam untuk menjadikan keluarga Katolik di Paroki St. Petrus Sambiroto sesuai dengan teladan Yesus Kristus (Ecclesia Domistica).
Penanggungjawab TPKP adalah Pastur Paroki, dalam pelaksanaannya peran awam sangat di-butuhkan melalui Tim Kerja TPKP yang beker­jasama dengan ME, CFC, Choice, Pro Life dan lain-lain.
Penyelenggaraan sosialisasi di Paroki San­to Petrus Sambiroto dipandegani oleh Bapak Petrus Sunarno dan materi disampaikan oleh Bapak Sarjono. Kegiatan ini merupakan tahap I, sedangkan tahap II akan diselenggarakan pada minggu ketiga bulan Mei 2003.
Peran serta umat sangat diharapkan. Berkah Dalem !! ** [Juang S]

DIAS INGIN JADI PASTUR !

Kunci – St. Petrus Sambiroto (21/4)
Misa Minggu pagi di Paroki St. Petrus Sambiroto diwarnai suasana riang. Sebanyak 15 lagu liturgi dinyanyikan dalam misa tersebut secara kompak oleh kelompok koor siswa SD Kanisius Lamper Tengah Semarang.
Misa Minggu Paskah IV (tahun C dalam kalender Gereja) ini juga bertepatan dengan hari panggilan. Dalam homilinya Romo FX. Agus Suryana Guna­di Pr bertanya kepada umat apakah berkenan dan rela kalau anaknya menjadi romo, suster, bruder dan hidup membiara. Sebagian umat menyambut sapaan tersebut dengan senyum sipu.
Kita diingatkan bahwa setiap orang punya pang­gilan masing-masing yang harus dimaknai dan dihidupi. Roh panggilan itu menyala setiap saat. Banyak di antara kita kawatir kalau anaknya men­jalani hi-dup membiara di masa tuanya nanti akan ditinggalkan oleh anaknya. Apalagi tidak mungkin memberikan cucu. Kekawatiran tersebut seharus­nya tidak perlu dirisaukan. Mengapa?
Dari pengalaman pribadi Romo Agus justru pada saat ibu-bapak memasuki usia senja tetap ada waktu untuk sekedar menjenguk. Orangtua merasa juga bangga, setidaknya pada saat ulang tahun, pemberkatan rumah, peringatan hari istime­wa dengan misa kudus dan putranya sendiri yang memimpin misa tersebut.
Romo Agus juga menyapa para siswa yang sedang bertugas. Sapaan apa kabar dijawab spontan oleh sebanyak 56 siswa dengan seruan: luar biasa! Ke-56 siswa yang terbagi dalam dua kelom­pok, ya-itu petugas koor 31 anak dan 25 petugas memainkan musik. Mere­ka tergabung di dalam ensamble (baca: angsambel) Musik SD Kanisius. Sekolah ini bertempat di Jl. Ngemplak Buntu Rt.01-RW.IX Tandang Tembalang Sema­rang. Ensamble musik ini dilatih oleh Bapak Andi. Ensamble musik ini juga menjadi bagian dari pelayanan Tuhan baik untuk misa di gereja, acara intern sekolah, serta sarana promosi.
Ada yang menarik dari misa kali ini. Romo Agus melempar pertanyaan, apakah ada yang mau jadi Romo, suster atau Bruder. Salah satu yang menjawab ‘ya,’ Marcelino Prima Diasta (Dias) dipersilahkan maju ke altar. Siswa kelas VI ini saat ditanya mengapa ingin menjadi Romo, men­jawab dengan jawaban khas anak: Ingin mengab­di pada Hosti dan memberkati anak-anak!!
Hadirnya roh panggilan itu juga disuarakan oleh Dion putra altar yang saat ini kelas 8 (SMP). Dua suster yang hadir pada misa pagi itu melengkapi kesaksian hari itu melalui cerita suka cita mem­biara, dan memberikan gambaran utuh tentang makna menghidupi panggilan membiara.
Nah, tugas kita sekarang adalah merawat dan menghidupi roh panggilan yang sudah tinggal di antara kita. Demikian Romo Agus menutup hom­ili pagi itu.
Untuk Dias dan Dion kami umat Paroki St. Petrus Sambiroto menggalang doa sepanjang masa un­tuk mewujudkan panggilanmu. Salam kami.** [Juang]


Nomor 3, 15 Mei 2013

Doa Rosario di Keluarga Kita / Holy
Rosario adalah doa kesetiaan. Doa yang “hanya” terdiri dari Kredo, Kemuliaan, Bapa Kami dan Salam Maria dan diselingi dengan peristiwa-peristiwa gembira-sedih-mulia-terang ini merupakan doa andalan orang Katolik.
Berdoa rosario menjadi “asyik” ketika hati damai, pikiran fokus. Doa Salam Maria yang diulang-ulang, menjadikan hati makin damai. Kita menjadi sangat dekat dengan Bunda Maria, seolah-olah dia berada di hadapan kita dan mengulurkan tangan kasihnya, dengan senyum menyambut doa-doa yang kita lantunkan dan berjanji membawanya ke hadapan Puteranya Yesus. Namun doa yang begitu indah ini menjadi  membosankan bila keadaan hati dan pikiran kita sedang terpecah-pecah, tidak fokus.
Apakah kebiasaan berdoa rosario di dalam keluarga kita masih berlangsung sampai sekarang? Jangan-jangan doa yang “panjang” ini hanya menjadi milik generasi tua angkatan 50-an dan cenderung dilupakan oleh generasi muda. Atau bahkan jangan-jangan generasi tua pun sudah tidak melakukan?
Reporter KUNCI, Holy, mencoba menanyakan ke sejumlah umat yang mewakili  OMK dan generasi tua. Hasilnya pastilah bukan potret kenyataan di dalam umat kita, tetapi setidaknya kita bisa bercermin dari pendapat para narasumber, lalu menanyakan pada diri sendiri dan keluarga masing-masing tentang kebiasaan doa khususnya doa rosario.
Kornelia Paskatria Cahyani, OMK Lingkungan Inatius Klipang 2 percaya bawa kegiatan doa mendekatkannya dengan Tuhan. Doa, terutama doa rosario memberi ketenangan dan kekuatan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Kebetulan di rumahnya selalu mendapat giliran menerima doa rosario lingkungan tiap Senin. Mengaku tidak dapat melakukannya dengan rutin karena kesibukannya, maka doa rosario pribadi dilakukan pada malam hari.
Elizabeth Paramita, OMK dari Lingkungan Santa Emilia Kinijaya ini memiliki kebiasaan doa pagi, doa pribadi, hari untuk mengawali aktivitas. Tentu dengan doa dia berharap memiliki kekuatan dan memperoleh keselamatan dalam beraktivitas. Dan kebiasaan berdoa rosario dia jalankan bukan hanya di rumah, tetapi juga di dalam perjalanan dan di kantor karena setelah berdoa rosario ada perasaan sukacita. Dia merasakan kelegaan. Dia mengaku melakukan secara rutin doa harian, rosario, bahkan doa novena setiap bulan.
Elisabet Listiani, sesepuh umat Lingkungan St. Fransiskus Xaverius Ketileng 2 mengaku rutin melakukan kegiatan doa pribadi. Dia memilih melakukannya secara pribadi dengan alasan lebih fokus dan khusuk. Mengaku doa rosario jarang dilakukan di rumah, tetapi secara rtin menetapkan doa harian setiap pk 20.00 dengan alasan mengambil waktu senggang setelah seharian bekerja. Doa rosario yang masih tetap sering dilakukan itu dipilih tempat di rumah dan bukan di Gua Maria. Teralu ramai sehingga tidak konsen.
Lorensia Winda Marlysa, OMK Lingkungan Santo Aloysius Klipang 3 ini mengaku dengan berdoa dan berziarah Tuhan selalu hadir di dalam hati dan memberikan ketenangan hidup. Doa rosario dilaku-kan dalam kegiatan rosario lingkungan dan ber-sama tema-teman. Dia percaya, di manapun Tuhan itu ada. Maka kegiatan doa dia lakukan di manapun. Yang penting harus benar-benar tulus.** 

Nomor 4, 1 Juni 2013
Di salah satu kelas di SD Kebondalem-2, Romo Bernardinus Rusmanto, Pr memberikan kursus singkat kepada calon lektor gereja kita. Romo Rusmanto ditemani oleh 5 orang anggota pendamping lektor. Kegiatan yang  diprakarsai oleh Pak M. Sukarjo dan Ibu Estining ini direncanakan diselenggarakan empat kali. Sebagai narasumber pertemuan kedua Pak Hari Pawarto. Pertemuan ketiga, pada Minggu 2/6/2013 mendatang semua calon lektor diarahkan untuk praktek di mimbar gereja, dan pertemuan keempat pada tanggal Minggu 9/6/2013 untuk evaluasi. Latihan khusus bagi petugas Sabtu dan Minggu akan dilakukan pada Kamis malam sebelum hari bertugas. Pertemuan umum akan diselenggarakan setiap dua bulan sekali.
Di sayap kanan gedung gereja sekelompok kelas 4 SD itu baru saja menyelesaikan wulangan komuni pertama. Tampak Pak Berdi berada di tengah mereka. Suasana ceria. Ada 62 orang anak yang akan menerima komuni pertama pada misa pagi hari Minggu, 2/6/2013. Jumlah tersebut diharapkan dapat utuh sampai pada saat penerimaan, yaitu di Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, Minggu 2/6/2013. Sebab jika kegiatan wajib pada saat persiapan ada yang tidak diikuti calon mendapat sanksi berupa penundaan Penerimaan komuni untuk periode berikut. Kegiatan wajib itu meliputi: Pembekalan bagi orangtua calon (Jumat 24/5/2013), Rekoleksi anak-anak (Minggu 26/5/2013), Ibadat Tobat dan Pengakuan Dosa (Senin 27/5/2013), dan Gladi Bersih anak dan orangtua calon (Kamis 30/5/2013)   
Sementara anak-anak mengikuti wulangan, para orangtua yang tergabung dalam Panitia Persiapan Penerimaan Komuni Pertama mengadakan pertemuan di dalam ruang gereja beberapa saat usai misa kudus minggu pagi itu. Beberapa persiapan, mulai rangkaian acara, kebutuhan sarana prasarana, besaran biaya sampai pada model pembiayaan termasuk yang mereka bicarakan, sehingga ketika hampir semua altifitas lain sudah selesai, peserta rapat ini masih tampak serius.
Di ruang rapat gedung paroki pelajaran persiapan babtisan dewasa sedang berlangsung. Cukup menarik mendengarkan dialog iman antar peserta dengan pendamping hari itu adalah Ibu Hary Putranti. Menurut catatan ada 7 orang calon baptis yang sedang dipersiapkan oleh tim pendamping.
Di panti koor tampak anggota Putra-Putri Altar sedang  berlatih koor untuk menyiapkan tugas pada Misa kudus Penerimaan Komuni Pertama. Mereka kelihatan gembira saat mengikuti latihan, pertanda antusiasme yang besar dalam menjalankan tugasnya.
Sementara itu di pelataran dan juga tersebar di bangku-bangku gereja para orangtua yang menunggui anak-anak mereka beraktifitas di gereja tampak menikmati suasana. Sambil menunggu mereka dapat bertemu dan ber-komunikasi dengan umat lain. Kepada mereka ini kita patut mengacungkan jempol dan rasa gembira karena kesetiaan mereka dan besarnya rasa tanggung jawab kepada proses perkembangan iman anak-anak mereka. Sadar atau tidak mereka sedang menggenapi janji perkawinan: “Menjadi Orangtua yang baik bagi anak-anak yang dipercayakan Tuhan dan mendidik mereka menjadi orang Katolik Sejati.”
Datanglah ke Gereja!
Mbak Caecil, petugas Sekretariat Gereja Santo Petrus Sambiroto dibuat sibuk mengatur tempat agar semua kegiatan gereja dapat berlangsung lancar. Berbagai pertanyaan tertuju kepadanya. Ada yang menanyakan di mana rapat ini atau rapat itu berlangsung.  Kemudian menyusul beberapa orang datang dalam urusan rencana pernikahan. Semua itu berlangsung pada hari Minggu, hari ceria, karena Sekretariat Paroki Santo Petrus Sambiroto memang membuka pelayanan hari Minggu (hari Kamis Sekretariat TUTUP). Pagi itu semua orang pun menjalankan peran dan tugas masing-masing dengan penuh suka cita.
Melihat kemeriahan itu kita pantas menyambut dengan penuh kegembiraan. Maka datanglah sesekali ke gereja sesudah misa kudus Hari Minggu, niscaya Anda menyaksikan kehidupan, kemeriahan, aktifitas yang semarak di lokasi gereja kita. ** [wiranto]

Peran Umat Katolik dalam Pemilukada Jawa Tengah
Kunci – Gereja St. Minggu 26/5/2013 sebuah surat kabar memuat berita tentang penggunaan foto Uskup untuk keperluan kampanye pada  Rabo 22/5/2013. Foto Uskup Agung Mgr J Puja-sumarta itu terpampang pada beberapa baliho pasangan cagub Hadi Prabowo bersama sejumlah tokoh agama. Karena aturan gereja melarang hal tersebut, maka Uskup merasa keberatan. Bapa Uskup sangat berhati-hati dengan pencitraan yang melibatkan pihak lain seperti itu.
Dalam peran yang lain, sejumlah umat Katolik cukup aktif melibatkan diri dan  berperan  dalam melayani sesama pada kegiatan Pilkada Cagub-Cawagub yang bertugas menjadi petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS). Kesediaan untuk ajur-ajer umat Katolik pada perhelatan tersebut sangat dibutuhkan untuk mengawal pesta demokrasi tingkat provinsi kali ini.
Mengapa demikian? Mungkin sekali kebiasaan tertib yang dibentuk oleh liturgi Gereja dengan pameo bahwa “Jam Gereja” tidak dapat ditawar-tawar lagi sudah menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari. Kesadaran untuk bermasyarakat  dengan baik juga disikapi sebagai bagian perwujudan iman kristiani. Sikap inilah yang sering dipandang oleh umat lain di sekeliling tempat tinggal umat Katolik.
Kita sudah terbiasa melakukan budaya mengantre pada saat kita menerima komuni dan kebiasaan untuk berdiskusi, rapat, dengan program yang jelas dan jujur sehingga kebiasaan ini terpancar dalam kehidupan kita di masyarakat. (memang masih ada juga yang belum seperti itu!)
Di TPS-10 di Kelurahan Mangunharjo, yang melayani dua RT masing-masing RT01 dan RT02 dengan jumlah pemilih 198 orang (tetapi yang hadir hanya 104 orang), dilayani oleh 6 orang petugas PPS dan 2 orang linmas. Yang menarik adalah dari ke delapan orang tersebut lima orang adalah umat Katolik, satu umat Kriten dan dua muslim. Masing masing KPPS Yosep, Anggota YB. Srijono, MS. Sri Asih Bakri Wibawati, Petrus Yuli Haryanto dan Stefanus Agung. Dalam melaksanakan tugas tersebut tiga orang menjadi saksi yang bertugas memantau masing-masing kandidat Cagub dan Cawagub.
Tugas mereka tidak saja pada saat pemungutan suara melainkan diawali dari proses koordinasi dengan pihak pemerintah setempat dalam hal ini pihak kelurahan dengan mengikuti bimbingan teknis (bintek), analisis data, pem-bagian undangan sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara, pengisian data dan pelaporan. Semua yang telah dilakukan oleh tim mengikuti aturan dan ketentuan yang ada. Tentu saja hal di atas tidaklah tugas ringan. Kita ber-syukur bahwa saudara kita mendapat kepercaya-an. Iman dan tanggungjawab diuji di hadapan Tuhan dan masyarakat secara langsung.
Sebagai masyarakat Jawa Tengah kita cukup bangga dengan peran serta umat Katolik dalam gelar pesta demokrasi kali ini, selamat untuk umat Katolik yang terlibat pada pesta demokrasi dan selamat untuk pemimpin Jawa Tengah yang baru. **   [A. Juang Saksono]

No. 5, 15 Juni 2013
Dewasa adalah kondisi kepribadian. Jadi sama sekali tidak ada hubungannya dengan usia. Demikian psikolog Probowatie Tjondronegoro (dalam ElisabethNews No. 009 Tahun II April-Mei 2013 hal 26) mengatakan. Ciri-ciri kepribadian dewasa menurut dia adalah: Bisa membedakan benar dan salah secara obyektif. Pribadi yang dewasa juga tahu perbedaan benar dan baik, jahat dan salah, kemudian lebih mendahulukan logika daripada emosi, memiliki empati yang relatif tinggi dan karenanya cenderung aktif membantu orang lain yang membutuhkan, memiliki kemampuan toleransi yang tinggi, dan berbicara berdasarkan fakta bukan keyakinan semata. 

Reporter KUNCI, Holy, dengan bekal kegigihannya berhasil mewawancarai beberapa rekan OMK. Ada empat aspek sederhana yang dia tanyakan yaitu, 1) Bagaimana mengatasi perbedaan pendapat, 2) Pernahkan bertengkar, apa penyebabnya, dan bagaimana menyelesaikan? 3) Di tengah perbedaan pendapat tersebut apakah pernah sampai terjadi main pukul? Dan 4) Untuk urusan kedewasaan berpikir, siapa yang menjadi acuan atau sosok yang pantas ditiru? Berikut pendapat mereka.  

penasaran dengan REPORTASE kunci lainnya bisa Download Disini atau Download disini atau APALAGI DOWNLOAD DISINI JUGA BISA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar